OPINI
18 Februari 2025
Kewirausahaan Minus Kesejahteraan*
Nanang Sunandar
Peneliti Kebebasan Ekonomi INDEKS
Kewirausahaan berperan sangat penting dalam menekan angka pengangguran di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Selain menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri, seorang wirausahawan juga menciptakan lapangan kerja angkatan kerja lain ketika dia merekrut pekerja tambahan untuk membantu usahanya.
Analisis atas hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah tenaga kerja kewirausahaan, termasuk pelaku wirausaha dan pekerjanya, mencapai 139,6 juta, setara dengan 91,74% dari angkatan kerja per Agustus 2024. Angka ini naik dibandingkan jumlah tenaga kerja kewirausahaan per Agustus 2015, yakni 122,4 juta, setara dengan 90,53% angkatan kerja.
Peran penting kewirausahaan dalam penciptaan lapangan kerja tak terbantahkan. Namun, bagaimana perannya dalam meningkatkan kesejahteraan? Apakah tenaga kerja kewirausahaan menghasilkan pendapatan yang dapat diandalkan?
“Kewirausahaan terpaksa”
Istilah “wirausahawan” merujuk pada tiga dari tujuh status pekerjaan dalam statistik ketenagakerjaan BPS, yaitu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, dan berusaha dibantu buruh tetap. Empat status pekerjaan yang lain adalah buruh, pekerja bebas pertanian, pekerja bebas non-pertanian, dan pekerja keluarga/tak dibayar.
Sakernas Agustus 2024 menemukan bahwa 56,2 juta penduduk Indonesia bekerja sebagai wirausahawan. Angka ini melonjak dari 41,8 juta wirausahawan yang ditemukan dalam Sakernas Agustus 2015. Disandingkan dengan jumlah angkatan kerja pada masing-masing periode, yakni 122,4 juta pada Agustus 2015 dan 152,11 juta pada Agustus 2024, lonjakan ini menunjukkan peningkatan proporsi angkatan kerja yang berwirausaha dari 34,15% menjadi 36,95%.
Namun, berwirausaha tampak menjadi pilihan terakhir yang terpaksa diambil ketimbang menganggur. Selain karena kesempatan kerja sebagai buruh tetap yang terbatas, mayoritas angkatan kerja Indonesia yang berpendidikan rendah juga sulit bersaing di pasar kerja yang makin kompetitif.
“Kewirausahaan terpaksa” tampak pada menguatnya informalitas dalam kewirausahaan di Indonesia. BPS mendefinisikan ekonomi informal berdasarkan lima status pekerjaan, yaitu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap, pekerja bebas pertanian, pekerja bebas non-pertanian, dan pekerja keluarga/tak dibayar.
Penguatan informalitas dalam kewirausahaan tampak terutama pada sisi pelaku usahanya yang sebagian besar wirausahawan berstatus berusaha sendiri dan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau pekerja bebas dan pekerja keluarga/tidak dibayar (kategori 2). Pada Agustus 2024, gabungan dua kategori wirausahawan informal ini mencapai 91,66% terhadap total wirausahawan, naik dari 90,26% pada Agustus 2015.
Wirausahawan berstatus berusaha sendiri mendominasi kewirausahaan informal dengan proporsi 46,73% pada Agustus 2015 dan 56,06% pada Agustus 2024. Pada periode yang sama, proporsi wirausahawan formal, yaitu wirausahawan yang mempekerjakan buruh tetap, turun dari 9,74% menjadi 8,34%.
Kesejahteraan yang minim
Berdasarkan temuan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), rata-rata pengeluaran bulanan per kapita untuk bahan makanan dan non-makanan pada tingkat nasional telah melonjak 72,71% dari Rp946.258 pada 2015 menjadi Rp1.500.556 pada 2024. Lonjakan pengeluaran biaya hidup ini memberikan tekanan ekonomi yang besar pada tenaga kerja kewirausahaan informal.
Pada periode yang sama, rata-rata pendapatan wirausahawan berstatus berusaha sendiri hanya naik 55,95% dari Rp1.328.340 pada 2015 menjadi Rp2.071.574 pada 2024. Pekerja bebas yang menjadi buruh tidak tetap dalam kewirausahaan informal mencatatkan kenaikan rata-rata pendapatan bulanan yang sedikit lebih baik, yakni 69,13% dari Rp977.050 pada 2015 menjadi Rp1.652.471 pada 2024.
Artinya, sebagian besar pendapatan tenaga kerja kewirausahaan informal terserap untuk biaya hidup. Pada 2024, proporsi pendapatan yang terserap untuk biaya hidup mencapai 72,44% pada wirausahawan berstatus berusaha sendiri dan 90,81% pada pekerja bebas. Kondisi ini berbanding terbalik dari buruh tetap yang bernasib jauh lebih baik, karena memiliki rata-rata pendapatan yang lebih tinggi, yakni Rp3.267.618 per bulan.
Tenaga kerja kewirausahaan informal memiliki ruang fiskal yang sangat sempit untuk menabung, berinvestasi, dan mengembangkan usaha. Kesejahteraan wirausahawan dan pekerja informal akan makin terbebani jika tren kenaikan pengeluaran yang lebih tinggi dari kenaikan pendapatan ini terus berlanjut di tahun-tahun mendatang.
Dukungan kebebasan ekonomi
Dengan inisiatif dan jerih payah sendiri, wirausahawan adalah aktor utama penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Peningkatan minat berwirausaha pada angkatan kerja layak ditanggapi secara positif dengan menghilangkan berbagai kendala sistemik yang menghambat peningkatan kesejahteraan tenaga kerja kewirausahaan.
Kebebasan ekonomi diperlukan untuk mendukung kewirausahaan. Kebebasan ekonomi ditopang oleh supremasi hukum, pemerintahan yang terbatas, regulasi yang efisien, dan pasar yang terbuka (Heritage Foundation 2024).
Supremasi hukum diperlukan untuk melindungi kepemilikan harta benda dan kebebasan pemanfaatannya dalam ekonomi, serta untuk mewujudkan pemerintahan yang bebas dari korupsi. Supremasi hukum memberikan kepastian hukum bagi wirausahawan bahwa pemerintah hadir untuk melindungi harta benda dan aktivitas usahanya dari kesewenang-wenangan pihak lain, termasuk yang dilakukan oleh aparat negara.
Pemerintahan terbatas ditandai dengan biaya birokrasi dan program pembangunan yang efisien dan akuntabel. Ini penting agar aktivitas kewirausahaan tidak dibebani dengan pajak yang tinggi. Dengan pajak yang rendah, wirausahawan memiliki ruang fiskal yang lebih leluasa untuk mengalokasikan modal dan sumber daya untuk melakukan ekspansi bisnis.
Regulasi yang efisien diperlukan dalam proses perizinan dan pasar kerja. Perizinan usaha harus dibuat sederhana agar lebih banyak wirausahawan yang bergerak dalam ekonomi formal dan memiliki akses yang lebih besar terhadap modal, jejaring, dan pasar.
Regulasi upah perlu didasarkan pada produktivitas. Regulasi upah minimum yang diterapkan secara gegabah berdampak pada penurunan produktivitas tenaga kerja. Regulasi upah yang mengabaikan produktivitas juga membebani mayoritas wirausahawan di Indonesia, yakni pelaku usaha mikro dan kecil dengan pendapatan yang lebih rendah dari upah buruh tetap di sektor formal.
Pasar yang terbuka berarti setiap pelaku usaha bebas untuk berpartisipasi dalam proses pasar. Ini berarti tidak adanya regulasi yang mendiskriminasi, baik yang merugikan maupun mengistimewakan pelaku usaha tertentu. Pasar yang terbuka tidak hanya penting bagi adanya kompetisi yang sehat di kalangan pelaku usaha, tetapi juga membuka kesempatan kerjasama antar-pelaku usaha sehingga proses bisnis menjadi lebih inovatif dan produktif.
Akhirnya, sumber daya manusia (SDM) yang terdidik dan terampil adalah modal utama kemajuan kewirausahaan. Dalam hal ini, pemerintah dan sektor kewirausahaan formal yang telah maju perlu bekerjasama untuk memfasilitasi berbagai kegiatan peningkatan kapasitas dan daya saing wirausahawan.
Artikel telah dipublikasikan di Harian Kompas, 15 Februari 2025, juga tersedia di https://www.kompas.id/artikel/kewirausahaan-minus-kesejahteraan?open_from=Opini_Page