PANGKALPINANG – Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia bersama Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS) serta didukung oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia telah melaksanakan Pelatihan Kebebasan Sipil di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, pada Jumat 24 Mei sampai Minggu 26 Mei 2024.
Sejak 2018, FNF Indonesia bersama lembaga INDEKS berkomitmen dan konsisten mewadahi masyarakat sipil, aktivis, akademisi, jurnalis, pejuang hak asasi manusia, LSM lokal, dan mahasiswa untuk belajar mengenai kebebasan sipil yang diadakan di sejumlah kota di Indonesia.
Seperti pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan FNF Indonesia dan lembaga INDEKS sebelumnya, antusias pendaftar cukup tinggi. Terdapat 130 pendaftar yang mengisi form pendaftaran kegiatan, namun kuota yang tersedia hanya untuk 24 orang peserta terpilih berdasarkan seleksi yang ketat tim INDEKS.
Sambutan pertama ialah perwakilan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia. Dalam sambutannya, perwakilan Kemenkumham mengatakan bahwa posisi kita ialah mendukung untuk kegiatan-kegiatan yang positif dan kita berterima kasih atas antusias peserta maupun fasilitator.
“Kita bersama FNF Indonesia & Lembaga INDEKS, bekerja sama untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang sifatnya positif, serta kita ucapkan terima kasih kepada peserta dan fasilitator,” ujar perwakilan Kemenkumham.
Selanjutnya materi pengantar yang disampaikan oleh Dr. Stefan Diederich (Head of Indonesia Office). Secara fundamental, Diederich menjelaskan bahwa kebebasan sipil adalah hak-hak dasar dan kebebasan warga negara yang dijamin oleh negara. Dasar hukum yang menjamin hak-hak dasar dan kebebasan warga negara di Jerman diabadikan dalam Undang-Undang Dasar (Grundgesetz, GG), konstitusi Jerman.
“Secara fundamental, definisi kebebasan sipil adalah hak-hak dasar dan kebebasan warga negara yang dijamin oleh negara. Dasar hukum yang menjamin hak-hak dasar dan kebebasan warga negara di Jerman diabadikan dalam Undang-Undang Dasar Grundgesetz, konstitusi Jerman,” papar Diederich.
Selain itu, Diederich juga mengatakan bahwa pelatihan ini upaya kita untuk merespon isu-isu yang jarang sekali diprioritaskan pemerintah, seperti isu lingkungan dan keamanan data. Sehingga kita mengharapkan teman-teman dapat membagikan pengalamannya seputar kebebasan sipil di Bangka Belitung dan sekitarnya.
Sukron Hadi (Lead Trainer dari Lembaga INDEKS) dalam sesi selanjutnya, mengungkapkan bahwa tujuan pelatihan ini untuk memahami pengertian proses advokasi kebebasan sipil dan permasalahannya; memahami hubungan antara advokasi, kebebasan, dan HAM; memahami landasan hukum, mekanismenya dan prinsip-prinsipnya.
Hadi mengajak peserta untuk menyadari betapa pentingnya advokasi kebebasan sipil. Sebab, kebebasan sipil dimaknai sebagai sesuatu yang primer dalam hak asasi manusia. Hadi mengingatkan bahwa kebebasan sipil telah dijamin serta bagian dari hak-hak sipil dan politik warga negara (civil rights) yang wajib dihormati, dipenuhi, dan dilindungi negara.
“Betapa pentingnya advokasi kebebasan sipil. Sebab, kebebasan sipil dimaknai sebagai sesuatu yang primer dalam hak asasi manusia. Oleh sebab itu, kebebasan sipil telah dijamin serta bagian dari hak-hak sipil dan politik warga negara (civil rights) yang wajib dihormati, dipenuhi, dan dilindungi negara,” ungkap Hadi.
Hadi menekankan bahwa negara berperan sebagai pembawa tugas atau pelaksana (duty-bearer) mencakup eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Selanjutnya Nanang Sunandar (Pendiri & Ketua Perkumpulan Lembaga INDEKS) sebagai narasumber pertama, ia memaparkan teori-teori seputar etika kebebasan dan konsep kebebasan sipil. Sunandar menjelaskan bahwa hukum moral alami menjadi dasar argumentasi John Locke untuk membatasi kebebasan dengan kewajiban, itu tidak melanggar hak-hak alami (natural rights) yang melekat pada manusia, seperti kehidupan (life), kebebasan (liberty), dan kepemilikan (property).
Sunandar menambahkan terkait pelestarian manusia. Dalam analisanya, ia mengatakan bahwa Locke memberikan penekanan setiap orang tidak boleh membunuh, memperbudak, dan mencuri. Locke mengakui ada kewajiban umum yang berguna untuk membantu pelestarian manusia, termasuk kewajiban mengasihi kepada mereka yang tidak memiliki cara lain untuk mendapati penghidupan.
Sunandar juga menjelaskan istilah “kebebasan sipil” (civil liberty/civil liberties) telah ditemukan dalam literatur setidaknya sejak pertengahan 1600-an. Istilah “civil liberty” antara lain tertulis dalam catatan pertemuan di Majelis Tinggi Parlemen Inggris Raya, yaitu Journal of the House of Lords (1647).
Pelatihan ini menghadirkan tiga narasumber yang kompeten dalam isu kebebasan sipil dan lingkungan seperti Nanang Sunandar (Pendiri & Ketua Perkumpulan Lembaga INDEKS) yang menyampaikan materi “Etika Kebebasan dan Konsep Kebebasan Sipil,” Ahmad Subhan Hafiz (Direktur Eksekutif WALHI Bangka Belitung) yang menyampaikan materi “Peluang & Tantangan: Kebebasan Sipil dan Isu Lingkungan di Bangka Belitung,” dan Muhamad Isnur (Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang menyampaikan materi “Strategi dan Taktik Advokasi”.
Kebebasan sipil dan isu lingkungan
FNF Indonesia dan lembaga INDEKS memilih Kepulauan Bangka Belitung sebagai tempat tujuan pelatihan advokasi kebebasan sipil, memiliki alasan khusus yaitu wilayah tersebut menjadi sorotan belakangan ini karena kasus korupsi yang mengakibatkan kerugian besar di Indonesia. Selain kasus yang sedang mencuat tersebut, nyatanya masih terdapat berbagai permasalahan kebebasan sipil yang perlu ditangani, khususnya persoalan hak atas lingkungan.
Perrlindungan terhadap lingkungan mengacu pada konstitusi negara republik Indonesia, UUD 1945 amandemen ke-2, pasal 28H ayat 1, berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Namun nyatanya, hukum saja tidak menjamin bahwa lingkungan akan tetap lestari tanpa eksploitasi. Terdapat beberapa kerusakan yang semakin memburuk, seperti data yang disampaikan oleh narasumber kedua.
Ahmad Subhan Hafiz (Direktur Eksekutif WALHI Bangka Belitung) mengungkapkan data-data terkait kerusakan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung. Hafiz menjabarkan bahwa Kepulauan Bangka Belitung telah kehilangan hutan tropis seluas 460.000 hektar (2014-2020). Kemudian eksploitasi sumber daya alam dan perkebunan skala besar di Kepulauan Bangka Belitung, hanya menyisakan 197.255,2 hektar hutan.
Hafiz menambahkan data terkait eksploitasi sumber daya alam, juga termasuk Perkebunan Sawit (170.000 Ha), Pertambangan (1.007.372,66 Ha), Hutan Tanaman Industri (256.290 Ha), dan Tambak Udang (2.560,7 Ha).
Menelaah kondisi hukum terhadap persoalan lingkungan, Hafiz menjelaskan kondradiksi politik-hukum di Indonesia. Misalnya terkait aturan, disatu sisi, menunjukkan menguatnya peran negara dalam upaya perlindungan dan memastikan tersedianya lingkungan hidup yang baik, tetapi disisi lain tidak adanya perubahan paradigma pembangunan, masih melihat lingkungan hidup sebagai komoditi, objek eksploitasi, dan proyek industri.
“Terdapat kontradiksi, misalnya, disatu sisi menunjukkan menguatnya peran negara dalam upaya perlindungan dan memastikan tersedianya lingkungan hidup yang baik, tetapi disisi lain tidak adanya perubahan paradigma pembangunan yang masih melihat lingkungan hidup sebagai komoditi, objek ekspolitasi, dan proyek industri,” ungkap Hafiz.
Terkait kebebasan sipil, Hafiz memaparkan data mengenai konflik ruang. Dalam lima tahun terakhir, terdapat 15 konflik warga sipil dengan aktivitas pertambangan yang melibatkan 42 desa. Kemudian konflik agraria antara 25 desa dengan 11 perusahaan sawit, dan kriminalisasi aktivis lingkungan sebanyak 31 orang pada rentang tahun 2020-2023
Muhamad Isnur sebagai ketua YLBHI, membuka dengan refleksi bersama dengan menanyakan permasalahan apa yang menjadi fokus peserta pelatihan. Kemudian ia memberikan strategi khusus kepada peserta. Strategi terangkum dalam istilah SMART (spesific, measurable, achievable, realistic, time-bound).
“Spesific maksudnya rumusan masalahnya spesifik, kongkrit dan jelas. Measurable maksudnya indikator dan hasilnya jelas. Achievable maksudnya sasarannya dapat digapai, bukan angan-angan. Realistic, maksudnya kita memiliki sumber daya dan akses yang cukup. Time-bound maksudnya, kita harus memiliki target waktu yang jelas,” ujar Isnur.
Isnur juga menjelaskan secara komprehensif, bagaimana analisis SWOT dengan tepat. Tujuannya adalah untuk mengetahui ancaman apa atas tindakan kita lakukan, kekuatan dan peluang apa saja yang kita punya, serta mengetahui kelemahan apa yang kita miliki.
Manfaat pelatihan bagi peserta
Salah satu pertanyaan dalam lembar evaluasi itu adalah, “Dibandingkan sebelum Anda mengikuti pelatihan ini, seberapa besar manfaat pelatihan ini terhadap (1) peningkatan pengetahuan Anda tentang kebebasan sipil? (2) pengingkatan ketrampilan Anda dalam advokasi kebebasan sipil? (3) peningkatan komitmen Anda untuk untuk terlibat dalam advokasi kebebasan sipil?
Bagaimana hasilnya? 23 peserta menilai bahwa kegiatan ini memiliki dampak “sangat besar” dalam peningkatan pengetahuan mereka terkait kebebasan sipil. Satu peserta menjawab “besar” dampaknya.
Respons pada pertanyaan kedua, 21 peserta menjawab “sangat besar” dampaknya bagi mereka terhadap peningkatan keterampilan dalam advokasi kebebasan sipil, setelah mereka tiga hari mengikuti kegiatan pelatihan ini. Adapun tiga peserta menjawab ”besar” dampaknya.
Terhadap pertanyaan ketiga, 19 peserta merasa bahwa kegiatan tiga hari ini memiliki dampak “sangat besar” dalam meningkatkan komitmen mereka untuk terlibat dalam advokasi kebebasan sipil. Adapun lima peserta menjawab “besar” dampaknya.
Program tersebut didampingi empat fasilitator yaitu Sukron Hadi (Lead Trainer/ Manajer Keuangan Lembaga INDEKS), Mathelda Christy (Co-Trainer/Manajer Program Lembaga INDEKS), Dedi Irawan (Co-Trainer/Staf Program Lembaga INDEKS), dan Athena Diva Abigail (Co-Trainer/Staf Media Lembaga INDEKS).
Ditulis oleh: Dedi Irawan, Staf Program Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS)