“Dalam hal kebebasan berpendapat misalnya, argumen “terlalu liberal” disematkan di tengah beragamnya ujaran dan opini di media seiring dengan arus informasi yang semakin bergulir. kata “liberal” dikonotasikan sebagai kebebasan berpendapat tanpa filter yang kemudian dapat memicu salah paham atau bahkan konflik.”
-Sinta Suryani, Kata Pengantar Buku Liberalisme Klasik-
Kesalahpahaman terhadap liberalisme sebagai ideologi kebebasan nampaknya cukup tertanam dalam stigma masyarakat Indonesia saat ini. Liberalisme dan kebebasan yang seyogyanya menciptakan peluang bagi segenap rakyat untuk menikmati pilihan hidupnya justru dianggap sebagai hal yang tabu dan dianggap sebagai suatu ideologi yang bertentangan dengan “moralitas “ bangsa Indonesia yang berlandas Pancasila.
Banyaknya tuduhan yang tidak proporsional terhadap liberalisme membuat para aktivis kebebasan menyelenggarakan acara diskusi publik. Pada hari jumat tanggal 9 Agustus 2019, di Bakoel Koffie Cikini, diadakan acara bedah buku karya Eamonn Butler yaitu Liberalisme Klasik: Perkenalan Singkat. Acara bedah buku yang berlangsung dari pukul 18.00 hingga 21.30 ini berlangsung cukup seru dan menarik.
Acara ini diprakarsai oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia bersama Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Indeks) yang didukung oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia. Tujuan utama dari acara peluncuran buku liberalisme klasik ini adalah memberikan edukasi kepada masyarakat Indonesia yang masih salah kaprah bahkan cenderung memusuhi kebebasan. Kebebasan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti. Kebebasan itu sendiri inheren dalam diri setiap manusia yang harusnya disyukuri, begitu pesan utama dari acara ini.
Melawan Tirani
Pemateri pertama dibawakan oleh Saidiman Ahmad, peneliti SMRC sekaligus salah satu tokoh Jaringan Islam Liberal. Saidiman membuka presentasinya dengan mengutip penyataan dari Presiden Rusia, Vladimir Putin. Putin berkata dalam salah satu ucapannya bahwa paham liberalisme sudah kadaluarsa dan tidak cocok lagi dengan situasi saat ini.
Padahal menurut Saidiman kenyataannya justru menunjukan sebaliknya, liberalisme telah membangun suatu peradaban manusiawi yang telah melahirkan kemakmuran. Liberalisme mendukung penghapusan perbudakan yang kejam serta mendukung emansipasi gender. Suka ataupun tidak, liberalisme turut mendorong kemajuan umat manusia dalam sejarah.
Saidiman juga menjelaskan mengenai soal yang cukup problematis, yaitu perbedaan mendasar antara kelompok Liberal konservatif, sosial demokrat, dan Liberalisme klasik.
Kaum sosial demokrat (sosdem) walaupun menyetujui nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi dan kebebasan, namun dalam hal ekonomi, kaum sosdem tetap mengakui otoritas penuh pemerintah dalam bidang ekonomi. Sebaliknya, kaum liberal konservatif justru mendukung kebebasan ekonomi, namun condong mendukung otoritas negara dalam mengatur privasi rakyat.
Padahal liberalisme sejati, atau yang disebut liberalisme klasik (di Amerika disebut Libertarian) justru mendukung kebebasan penuh manusia baik dalam hal pribadi maupun dalam hal ekonomi. Tujuan dari libealisme klasik adalah mencegah kelompok atau pemerintah yang merasa mempunyai otoritas melanggar hak orang lain, yaitu diri dan properti orang lain.
Saidiman juga menegaskan bahwa Liberalisme bukanlah suatu ideologi atau gagasan tunggal (milik sang filsuf atau cendekiawan). Liberalisme muncul dari kesadaran manusia untuk melawan tirani yang merampas hak milik orang lain, sebagaimana ia melawan absolutisme yang mengklaim otoritas untuk mengatur individu.
Moral Liberalisme
Setelah pemaparan singkat dari Saidiman, topik kemudian berpindah membahas soal moral dalam liberalisme klasik. Cania Citta Irlanie menjelaskan secara lugas mengenai kesalahan-kesalahan masyarakat yang selalu memberi stigma negatif terhadap paham liberalisme. Sebagian masyarakat menganggap bahwa ide-ide liberalisme mengarah pada ketidakteraturan alias chaos karena orang “terlalu bebas” sehingga tidak memiliki aturan. Ini yang merupakan pangkal kesalahpahaman.
Menjadi seorang liberal tidak berarti menjadi “liar”. Liberalisme klasik tidak mengizinkan manusia untuk berbuat sesuka hatinya tanpa aturan sehingga melanggar hak orang lain. Orang boleh bertindak bebas selama itu tidak mencederai hak orang lain. Menanamkan rasa demokratis, toleransi dan penghormatan terhadap hak orang lain adalah moral dasar dalam sistem liberalisme. Dan penghargaan terhadap hak orang lain itulah yang kemudian (secara otomatis) menciptakan sistm sosial yang saling menghargai dan menghormati.
Cania juga secara tegas mengkritik beberapa aturan hukum di Indonesia yang cenderung anti terhadap kebebasan. Seperti pembatasan dalam berpendapat, aturan ketat dalam berselancar di internet, serta kegiatan yang masih memandang tabu pemikiran lain yang tidak sejalan dengan pemikiran “orang banyak”. Salah satu contoh yang terakhir adalah razia buku-buku kiri. Phobia kiri di Indonesia dianggap terlalu lebay. Pemberangusan buku-buku kiri bukanlah solusi terbaik untuk menangkal komunisme.
Walaupun liberalisme secara ideologi head to head dengan komunisme, namun moral dasar liberalisme, yaitu menghargai pendapat orang lain, membuat kita harus menghormati orang yang berbeda pendapat dan pemikiran. Orang boleh memiliki pandangan yang berbeda, sebab itu adalah hak dia untuk memilih. Cania sangat menyayangkan tindakan penyitaan buku-buku kiri dan diamnya pemerintah terhadap aksi tersebut.
Menurut Cania, negara tidak pantas menjadi pendikte dan merasa paling otoritatif terhadap rakyatnya. Biarkan berbagai pikiran dan gagasan berkembang dan saling berdialektika. Berkembangnya berbagai pemikiran dan gagasan, menurut Cania, justru menjadi sarana edukasi agar masyarakat kian terbuka dan menilai setiap ideologi dengan akal sehatnya yang jernih, bukan dengan penindasan oleh aparat.
Dalam ideologi kebebasan, pemerintah tidak perlu bercapek-capek diri mengurusi ideologi, pikiran, dan agama rakyatnya. Sebab ide dan agama adalah masalah pribadi yang tidak ada sangkut paut dengan orang lain, apalagi dengan negara. Sehingga sangat tidak elok jika negara turut bersama kelompok tertentu menggunakan tangan besi dan menciptakan peraturan hukum yang membatasi pemeluk kepercayaan dan kebebasan berpikir tiap individu.
Kebebasan dan Kemajuan Ekonomi
Pembicaraaan menjadi lebih menarik ketika Muhammad Iksan dari suarakebebasan.org dan Nanang Sunandar dari Indeks, menjelaskan tentang masalah ekonomi liberal dan penerapannya di Indonesia. Saat ini, banyak orang awam bahkan para pakar cenderung sinis bahkan anti terhadap ide kebebasan ekonomi dalam sistem liberalisme.
Ekonomi pasar bebas atau orang menyebutnya kapitalisme, sering dianggap sebagai biang kemelaratan dan kemiskinan karena wataknya yang eksploitatif. Namun Muhammad Iksan dalam presentasinya membawakan “kejutan” yang sering diabaikan, bahwa dari tahun awal abad ke-19 hingga awal abad ke-21, pendapatan perkapita, harapan hidup, dan kemakmuran tiap individu di berbagai negara mengalami peningkatan pesat. Peningkatan kualitas hidup dan kemakmuran ini terjadi di Amerika, Eropa, Asia termasuk dinegara-negara berkembang.
Kapitalisme masih dicurigai oleh sebagian orang di masyarakat kita, beberapa orang malah memandang ekonomi kerakyatan yang diajarkan oleh founding fathers bangsa Indonesia masih dianggap sebagai ekonomi alternatif yang cocok dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa kita. Muhammad Iksan menjawab bahwa ekonomi kapitalisme (secara jujur) memang bukan ide para bapak bangsa, namun seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya literatur tentang ekonomi kapitalisme, bangsa kita akan sadar betapa efisiensinya kapitalisme dan tidak ada satupun negara didunia ini yang bisa hidup tanpa memperhatikan pasar global.
Menguatkan pendapat Muhammad Iksan, Nanang Sunandar, peneliti INDEKS, memulai presentasinya dengan mengkritik sebuah premis, yaitu benarkah negara akan maju jika pemerintah bersikap tangan besi? Fenomena kebangkitan ekonomi China sebagai negara tangan besi membuat sebagian orang terpukau dan menganggap bahwa kemajuan ekonomi dapat dilaksanakan jika pemerintahnya semakin otoriter dan mengintervensi masalah-masalah personal dan ekonomi.
Pandangan ini tidak tepat jika melihat trend hubungan antara kebebasan dan ekonomi dalam jangka panjang. Mengutip studi yang dilakukan Andre Liebenberg dari University of Pretoria, yang mengkaji data-data ekonomi dan kebebasan selama 18 tahun sepanjang periode 1995-2012, meningkatnya kebebasan personal—yang mencakup kebebasan sipil dan hak-hak politik—dan kebebasan ekonomi berpengaruh secara positif terhadap kemakmuran ekonomi dalam jangka panjang.
Meskipun kebebasan ekonomi berpengaruh langsung terhadap kemajuan ekonomi, ia membutuhkan dorongan dari kebebasan personal untuk bisa berkesinambungan. Tanpa kebebasan personal dalam wilayah sosial dan politik, perkembangan ekonomi terhambat. Sebagaimana yang terjadi di era orde baru, pertumbuhan ekonomi Indonesia melesat hingga 7,4% namun karena tidak dibarengi oleh kebebasan dalam sosial politik, proses pembangunan justru malah terhambat dan krisis moneter 1998 adalah efeknya.
Saat ini, menurut Nanang dengan merujuk pada data Human Freedom Index yang dirilis atas kerjasama Friedrich Naumann Foundation for Freedom (FNF), Cato Institute, dan Fraser Institute, kebebasan ekonomi di Indonesia berada dalam kondisi yang lumayan baik dan membawa GDP Indonesia ke posisi ke-16 tertinggi di dunia. Bisa dibayangkan seandainya pemerintah memberikan lebih banyak kebebasan dan kelonggaran bagi rakyat dalam berpolitik, berpendapat dan berinovasi, mungkin kemajuan Indonesia akan melesat lebih cepat lagi.
Sebagai Penutup, mungkin memang harus diakui bahwa isu-isu mengenai kebebasan di indonesia masih kurang begitu menarik untuk dilirik, namun jika ide-ide kebebasan tidak dikenalkan dan disebarkan, justru akan melahirkan otoritarianisme baru yang justru akan mengancam kebebasan individu di Indonesia. Munculnya peraturan-peraturan yang terlihat kontra-kebebasan, seperti UU ITE dan juga berkembangnya kelompok intoleran dengan jubah agama, menjadi ancaman serius bagi keragaman dan demokrasi di Indonesia. Liberalisme seyogyanya bukan suatu ideologi yang memaksa orang untuk bebas, tetapi suatu gerakan kesadaran bahwa kebebasan itu adalah fitrah yang dimiliki manusia dan menjadi alat untuk manusia hidup.
Liberalisme klasik mungkin bukan paham revolusioner seperti paham komunis atau anarkis. Liberalisme juga tidak percaya 100 persen kepada otoritas penguasa atau kelompok yang merasa dirinya mayoritas. Liberalisme menekankan bahwa tugas utama pemerintah bukanlah mengontrol gerak-gerik rakyat, namun melindungi kebebasan masing-masing individu agar mereka bisa bebas mencari kebahagiaannya. Bukan kebebasan yang harus dipertanyakan atau digugat, tetapi aturan-aturan ketat dari pemerintah yang mengekang kebebasan itulah yang harus dipertanyakan dan digugat. Sebab kebebasan itu sendiri adalah hak manusia sejak ia lahir, sedangkan pembatasan yang ketat, lahir dari pemerintah dan kelompok yang ingin selalu menang sendiri.
Penulis:
Reynaldi Adi Surya*
Kontributor suarakebebasan.org