Oleh Nanang Sunadar (Direktur Eksekutif Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial -INDEKS)
“Halo semua. Saya adalah Martin Stollberg. Saya bertugas sebagai asisten dalam seminar ini. Selain mendampingi dan membantu memenuhi kebutuhan Anda selama mengikuti program, saya bertugas mendokumentasikan kegiatan. Artinya, saya akan mengambil gambar aktivitas-aktivitas seminar dan sebagian di antaranya mungkin akan dipublikasikan. Adakah di antara Anda yang berkeberatan jika saya mengambil gambar Anda dan mempublikasikan gambar-gambar itu di media sosial?”
Sebagai orang yang mencoba melakoni hidup dalam panduan etika liberal, saya tidak terkejut dengan perkataan Martin pada sesi pembukaan sebuah seminar yang saya ikuti di Jerman, 10-22 Februari 2019.
Perkataan Martin tersebut menyentuh prinsip paling dasar dari etika liberal, yaitu kontrak sosial yang didasarkan pada penghargaan atas kedaulatan diri setiap orang, sehingga segala bentuk instrumentalisasi atas diri orang lain menjadi sah secara moral hanya jika orang tersebut memberikan persetujuan.
Ironisnya, disadari atau tidak, kalangan liberal di Indonesia, termasuk saya sendiri, sering tak disiplin menegakkan prinsip etika ini. Bagaimana kami bisa mempromosikan nila-nilai liberal secara berintegritas kepada masyarakat jika kami gagal menghidupkan nilai-nilai liberal baik dalam kepribadian kami sendiri maupun dalam aktivitas-aktivitas yang kami selenggarakan dalam rangka promosi nilai-nilai liberal? Persis dalam rangka menghidupkan atmosfer liberal inilah terletak relevansi tema seminar yang saya ikuti, “Moderation: Facilitation and Program Design.”
Di Depan Theodor Heuss Akademie © Nanang Sunandar
Menjadi bagian dari Program International Academy for Leadership (Jerman: Internationale Akademie für Führungskräfte, IAF), seminar “Moderation: Facilitation and Program Design” diselenggarakan oleh Theodor Heuss Akademie, sebuah lembaga pendidikan milik Frederich Naumann Foundation for Freedom (FNF, Jerman: Frederich Naumann Stiftung für die Freiheit, FNS), sebuah yayasan politik di bawah partai politik berhaluan liberal di Jerman, Free Democratic Party (FDP).
Tujuan seminar ini ialah untuk membantu anggota organisasi-organisasi mitra FNF di berbagai negara melalui peningkatan kapasitas mereka dalam fasilitasi maupun merancang dan mengimplementasikan program pelatihan.
Mewakili Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), saya adalah satu di antara 26 peserta dari 21 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika yang beruntung memperoleh kesempatan untuk mengikuti seminar ini. Kesempatan ini juga merupakan kehormatan bagi INDEKS sebagai salah satu mitra FNF di Indonesia, mengingat kemitraan INDEKS dan FNF masih berusia sangat belia. Berbagai biaya untuk keperluan saya—dari perjalanan, akomodasi dan konsumsi, hingga asuransi—ditanggung sepenuhnya oleh FNF.
Delapan dari 12 hari seminar dilaksanakan di area komplek Theodor Heuss Akademie yang berlokasi di Gummersbach, sebuah kota kecil bersahaja di kawasan perbukitan yang berhawa dingin di Negara Bagian North Rhine-Westphalia. Akademi ini dilengkapi dengan berbagai fasilitas, dari ruang pertemuan, perpustakaan, teknologi infomasi dan komunikasi, hingga restoran, kafe, bar, dan penginapan.
Proses seminar selebihnya mengambil tempat di Berlin dalam bentuk pertemuan kelas dan kunjungan ke Parlemen Jerman sekaligus diskusi dengan politisi FDP. Selama di Berlin, peserta seminar juga memiliki waktu luang yang cukup untuk mengunjungi berbagai situs sejarah dan kebudayaan dan mengeksplorasi lebih jauh suasana ruang publik dan kehidupan masyarakat setempat.
***
Setelah sesi pembukaan di hari pertama seminar yang diisi dengan sambutan selamat datang oleh Direktur IAF Bettina Solinger, makan malam, perkenalan, dan kuis The Amazing Academy Ghoosechase yang bertujuan memperkenalkan peserta pada lingkungan akademi, proses seminar pada hari-hari selanjutnya diisi dengan sesi-sesi teori maupun praktik fasilitasi dan perancangan program pelatihan. Sepanjang proses ini, peserta selalu didampingi oleh tiga fasilitator, yaitu Marike Groenewald, Trisha Lord, dan Linus Stieldorf.
Suasana Seminar di Akademi © Nanang Sunandar
Selain sesi-sesi yang terkait dengan keterampilan fasilitasi, seperti antara lain The Thinking Environment, The Facilitator as Learner, Making and Managing Commitment, Introduction to Basic Linguistic Acts, Working with Moods and Emotions, The Freedom Model, dan The Kolb’s Learning Cycle, fasilitator membantu peserta seminar untuk mengasah keterampilan mereka dalam aspek-aspek perancangan dan implementasi program pelatihan dalam sejumlah sesi seperti Client-Consultant Session, Innovation in User-driven Events, Group Design and Interaction, dan Scripting Format.
Tidak hanya pendampingan oleh fasilitator, peserta juga mendapat input materi dari sejumlah narasumber yang terkait dengan baik keterampilan teknis fasilitasi maupun isu-isu seputar liberalisme. Dalam hal teknis fasilitasi, materi tentang komunikasi nonverbal dibawakan oleh aktor Daniel Gawloski, teknik-teknik permainan (gamefication) oleh ahli teknologi Thomas Lilge, dan visualisasi grafis oleh ilustrator Wiebke Koch.
Adapun materi-materi seputar isu-isu liberalisme disampaikan oleh peneliti dari Radicalisation Awareness Nework Alexander Ritzmann (How can the Tolerant Deal with the Intolerant?) dan oleh angota parlemen dan politisi dari FDP Konstantin Kuhle (Learning from Germany’s Young Liberals and Free Democrats).
Diskusi dengan Konstantin Kuhle di Parlemen Jerman © Nanang Sunandar
Dalam sesi kunjungan ke Berlin, selain diisi dengan pemaparan materi oleh narasumber, para peserta seminar juga difasilitasi melakukan city tour dengan bus untuk menyinggahi beberapa situs penting terkait sejarah dan kebudayaan Jerman, mulai dari masa kekaisaran Prusia yang melahirkan banyak karya intelektual dan budaya yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat dunia, kelamnya fasisme Nazi, hingga keruntuhan Tembok Berlin yang menandai unifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur.
Meskipun hanya sekilas, pengalaman city tour ini cukup untuk memberikan gambaran umum kehidupan sosial dan budaya masyarakat Jerman, khususnya di Berlin, yang dapat dieksplorasi lebih jauh oleh para pesera dalam waktu luang yang tersedia selama kunjungan ke Berlin.
***
Hal yang sangat menonjol dari seminar ini ialah sangat kuatnya atmosfer liberal menghidupi keseluruhan sesi yang dilaksanakan. Upaya menghidupkan nilai-nilai liberal dalam proses seminar tidak hanya dieksplorasi secara mendalam lewat berbagai metode yang disampaikan para fasilitator, tetapi juga dalam lingkungan akademi dengan para stafnya yang hangat dan ramah, dan dalam suasana belajar yang menjunjung prinsip-prinsip thinking environment, di mana seluruh peserta disemangati untuk berpartisipasi secara aktif sebagai pribadi yang mandiri dalam berpikir dan bertindak, sambil pada saat yang sama menghargai keragaman kultur di antara mereka.
Satu di antara banyak hal yang akan saya kenang terkait pentingnya menghidupkan nilai-nilai liberal dalam fasilitasi ialah ketika saya berkesempatan berlatih membawakan sebuah sesi fasilitasi dua hari terakhir sebelum seminar berakhir.
Selepas latihan ini, Linus dan Marike berkomentar bahwa mereka menyukai pilihan kata yang saya gunakan selama membawakan sesi, seperti “Saya di sini tidak untuk mengajari Anda tentang hak asasi manusia karena saya sendiri masih terus belajar mengeksplorasi topik ini, tetapi untuk melakukan aktivitas belajar bersama Anda tentang prinsip yang sangat mendasar untuk mengada sebagai manusia” dan “saya mengundang Anda untuk menemani saya melakukan aktivitas ini.”
Kerendahan hati dan komunikasi persuasif, kata Marike dan Linus, adalah kebajikan liberal yang seharusnya dimiliki setiap fasilitator, terlebih jika mereka bekerja untuk membangun sebuah masyarakat liberal.
Adalah benar apa yang disampaikan Alexander Ritzmann dalam sesi How can the tolerant deal with the intolerant? bahwa untuk membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai liberal, seorang liberal harus terlebih dulu menjadi teladan bagi kepribadian liberal sendiri. Hanya dengan pertama-tamamenunjukkan kepedulian, bukan mengajari, kata Ritzmann, kita, orang liberal, dapat mempersuasi masyarakat untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Apresiasi yang setinggi-setingginya sudah selayaknya diberikan kepada FNF, khususnya tim penyelenggara seminar IAF Theodor Heuss Akademie yang dikoordinasi oleh Lena Färber dan dibantu oleh Martin Stollberg dan Louisa Adele Lang, yang telah bekerja dengan penuh dedikasi dalam menyiapkan berbagai kebutuhan peserta seminar dan fasilitator.
Terimakasih juga saya sampaikan kepada Kantor FNF Indonesia dan dukungan para stafnya yang telah memungkinkan saya berkesempatan untuk belajar menjadi fasilitator yang lebih baik melalui seminar ini, yang mana saya bisa mengeksplorasi diri untuk menghidupkan nilai-nilai liberal dalam diri saya sendiri.
Makan Malam Perpisahan © Nanang Sunandar
*Artikel ini pernah dimuat di www.freiheit.org.