Menimba Ilmu Penguatan Organisasi di Gummersbach-Jerman pada Masa Wabah Corona

Oleh Sukron Hadi (Manager Program di Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial -INDEKS)

Saya membayangkan setiap partai politik besar di Indonesia masing-masing memiliki yayasan. Yayasan-yayasan itu hadir bertujuan bukan melulu untuk menggalang suara calon pemilih melalui kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan menjelang pemilu.

Lebih dari itu, yayasan-yayasan itu memiliki komitmen untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan sipil kepada masyarakat, melalui pelatihan, seminar, penerbitan, pemberian beasiswa pendidikan hingga menyediakan dana untuk organisasi-organisasi di penjuru negeri yang memiliki visi mempromosikan gagasan demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

Andai kondisi itu benar-benar terjadi, alangkah lebih cerahnya Indonesia. Partai melalui yayasannya bukan hanya berkomitmen pada demokrasi, tapi juga mempromosikan nilai-nilainya dengan cara profesional dan intens kepada masyakat. Dijamin, penghargaan masyarakat terhadap perbedaan politik, paham, ras, agama dan kepercayaan—sebagai salah satu fondasi demokrasi—akan jauh lebih baik dan iklim politik kita jauh lebih sehat.

Andai-andai itu muncul pada benak saya ketika Bettina Solinger selaku direktur International Academy for Leadership (IAF) memberikan penjelasan tentang ‘Apa sih Friedrich Naumann Foundation (FNF) for Freedom itu?’ kepada 22 peserta dari berbagai negara yang diundang dalam seminar IAF dengan tema “Strengtening NGOs: Strategy, Management and Fundrising” di Theodor Heuss Academy, Gummersbach, Jerman, pada hari pertama kegiatan, yang sedianya digelar 08-20 Maret 2020.

Pada malam pertama kegiatan—Minggu 08 Maret—itu Bettina menyampaikan bahwa FNF merupakan salah satu dari enam yayasan politik di Jerman yang masing-masing di bawah enam partai politik di Jerman. Partai-partai itu setidaknya dua kali pemilu berturut-turut lolos ke parlemen Federal supaya mendapat dana untuk aktivitas yayasan politik mereka dari pemerintah Jerman. FNF sendiri di bawah naungan Free Democratic Party (FDP), partai politik berhaluan liberal di Jerman.

(FOTO 2: saya berfoto dengan Bettina Solinger (Direktur IAF) pada makan malam perpisahan.)

Dalam obrolan santai di luar forum bersama Clinton du Prezz—fasilitator seminar ini, saya menyimpulkan bahwa salah satu alasan Pemerintah Jerman memberi perhatian khusus pada promosi prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan sipil, melalui yayasan-yayasan itu, kepada masyarakat Jerman dan masyarakat dunia lebih luas, karena mereka belajar dari sejarah kelam Jerman di bawah kekuasaan Nazi di masa lalu. Kuatnya pemahaman nilai-nilai demokrasi dan hidupnya budaya penghargaan atas kebebasan sipil di masyarakat mencegah kegilaan rezim lalim dan fasisme muncul kembali.

Malam itu, ketika Bettina menyampaikan sesi, kami peserta duduk dalam formasi huruf U. Di atas masing-masing meja kami terdapat bendera-bendera negara tempat kami berasal. Bendera merah-putih ada di hadapan saya. Saya satu-satunya peserta dari Indonesia, mewakili Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (INDEKS), salah satu lembaga mitra kerja FNF Indonesia dalam mempromosikan kebebasan sipil, HAM dan kebebasan ekonomi di Indonesia.

Saat saya takjub dengan apa yang saya dengar dari paparan Bettina tersebut tiba-tiba mata saya terpaku sejenak pada bendera merah-putih di hadapan saya dan kemudian terlintas andai-andai yang  sudah saya sampaikan pada tiga paragraf pertama dalam tulisan ini.

Itulah mengapa keesokan paginya, pada sesi perkenalan, saya memilih gambar pelangi di antara puluhan gambar lainnya saat Clinton meminta setiap peserta mengambil satu saja di antara gambar-gambar yang ia letakan di lantai. Satu gambar yang dianggap mewakili harapan atau ketakutan kami sebagai pribadi dan kaitannya dengan organisasi atau negara kami. Lalu Clinton meminta setiap peserta mengenalkan diri dan menyampaikan alasan kenapa memilih gambar yang dipilih.


(FOTO 3: Peserta diminta mengambil 
satu gambar di antara banyak 
gambar di lantai (sesi perkenalan)

Saya memilih gambar pelangi karena menurut saya itu mewakili gambaran Indonesia yang masyarakatnya sangat beragam dalam agama dan keyakinan serta etnis dan budaya. Meskipun secara umum demokrasi Indonesia secara prosedural cukup baik, namun belasan tahun terakhir terdapat kelompok-kelompok yang mempromosikan dan bertindak anti demokrasi, intoleransi dan anti kebebasan sipil khususnya terhadap minoritas agama dan keyakinan dan terhadap orientasi seksual di luar heteroseksual. Saya memiliki harapan masyarakat Indonesia seperti pelangi yang indah, saling menghargai dan mendukung dalam keragaman.

Memang, kegiatan ini melibatkan seluruh peserta untuk aktif dalam setiap sesi seminar. Hampir pada semua sesi, peserta diajak untuk mendiskusikan atau mengembangkan dalam bentuk reflektif dan praktis setiap materi sesi dalam grup besar, grup kecil ataupun personal.

Tidak hanya itu, Clinton sebagai fasilitator, mengkondisikan ruang Ralf Dahrendorf—tempat kegiatan kami—sebagai  ruangan yang nyaman bagi semua peserta untuk hadir sepenuhnya dalam setiap sesi, baik fisik maupun pikiran. Clinton mengkondisikan forum menjadi terbuka bagi masukan dan kritikan dari peserta. Suasana belajar pun begitu produktif, menyenangkan dan penuh keakraban.

Siang hari kedua itu, peserta diajak untuk lebih dalam menelusuri (ala peaks and valleys) dan mengidentifikasi secara jernih tujuan organisasi kami masing-masing melalui teori the golden circle milik Simon Sinek.

Esoknya, kami peserta dibagi kelompok berdasarkan regional untuk mendiskusikan dan mengidentifikasi 2 “trends” positif dan 2 negatif yang terjadi di regional kami masing-masing. Saya mendiskusikan dan mengidentifikasi itu bersama kawan satu kelompok, peserta lain dari Asia Tenggara, yakni dari Malaysia dan Filipina.

Sesi itu bertujuan, agar kami masing-masing perwakilan organisiasi, dapat mengidentifikasi dengan presisi masalah-masalah dan peluang-peluang di wilayah sasaran kerja organisasi kami masing-masing, untuk menentukan strategi apa yang akan diambil. Penentuan strategi juga diperkuat dengan ‘mengidentifikasi tipe organisasi’, yang menjadi tema pada sesi selanjutnya. Why organisasi, sekali lagi, menjadi nafas bagi itu semua.

Adapun sesi selanjutnya pada hari ketiga ini lebih kepada dasar-dasar manajerial organisasi dengan mengidentifikasi kultur masing-masing organisasi kami.


(FOTO 4: Kami berfoto bersama setelah 
presentasi per kelompok. Masing masing kelompok 
berdiri di atas “peta” regional masing-masing.)

Hari ketiga itu, ditutup dengan pembentukan learning partnership. Partner pembelajaran saya adalah Vahagn Antonyan peserta dari Armenia. Dia akan menjadi teman sharing saya tentang materi sesi-sesi tertentu selama masa kegiatan, yang rencananya berakhir pada 20 Maret 2020.

Hari berikutnya, hari keempat, kami menghabiskan waktu di Cologne: sesi kunjungan ke salah satu NGO di Jerman, Mother Hood, sebuah organisisasi di Jerman yang bergerak pada isu perlindungan ibu dan anak. Bersama Ruth Piecha kami menimba pengetahuan praktis tentang strategi, majamen, sumber pendanaan dan cara kerja lembaga mereka.

Di Cologne, selebihnya, dari siang hingga malam, waktu kami habiskan untuk jalan-jalan dan bersenang-senang bersama-sama di Kota Cologne yang maha indah.

Seminar in the time of corona

Film “Love in the Time of Cholera” (2007)—yang diangkat dari novel klasik, dengan judul yang sama, karya Gabriel Garcia Marqueez—dengan apik menggambarkan suasana hati sepasang muda-mudi yang sedang diliputi semangat dan gairah hidup karena jatuh cinta.

Florentino Ariza (Javier Bardem) begitu berbunga-bunga dengan datangnya selembar surat balasan yang sangat ia tunggu berhari-hari hingga ia sakit dan tidak fokus kerja. Selembar surat dari Fermina Daza, sebagai balasan suratnya yang setebal buku, cukup mengembalikan dan melambungkan semangat dan gairah hidup Florentino. Mereka berdua pun dimabuk cinta.

Kondisi perasaan mereka sedikit menggambarkan perasaan saya—mungkin 21 peserta lain juga—pada pagi hari kelima. Kami sudah terhubung baik dengan suasana dan metode pembelajaran, mendapatkan mater-materi yang kami butuhkan, juga pertemanan antar peserta dan kenyamanan pada lingkungan akademi sudah terbangun dengan baik.

Perasaan itu menegaskan perasaan senang tiga bulan sebelumnya, pada penghujung tahun 2019, ketika saya mendapat undangan dan kesempatan dari FNF Indonesia untuk mengikuti seminar ini. Apalagi, lembaga kami, INDEKS—lembaga yang terhitung baru—dan saya sendiri sebagai Manajer Program memang sangat membutuhkan pengetahuan tentang penguatan pada aspek strategi, manajemen dan pendanaan lembaga.

Pagi hari kelima, Kamis 12 Maret, ketika perasaan gembira kami belum sepenuhnya hilang dan kebersamaan setiap peserta semakin lekat karena aktivitas pada hari sebelumnya, Bettina mengabarkan kepada kami bahwa jadwal kunjungan dan sesi di Berlin terpaksa dibatalkan dan bahkan jadwal seminar ini terpaksa harus dipersingkat. Paling lambat tanggal 15 Maret semua peserta diharapkan sudah meninggalkan Jerman. Alasannya karena situasi wabah corona di penjuru dunia semakin memburuk, termasuk di Jerman. WHO pada hari itu resmi menetapkan coronavirus atau covid-19 sebagai pandemi global.

Beberapa penerbangan banyak yang dibatalkan dan beberapa negara melarang penerbangan dari negara-negara tertentu. Bahkan pada hari itu Pemerintah Indonesia mengumumkan 2 dari 34 pasien positif corona meninggal dunia. Padahal di hari ketika saya akan berangkat ke Jerman, di Indonesia baru ada dua orang yang terinfeksi corona.

Sebagaimana perasaan Fermina dan Florentino ketika dalam keadaan mabuk kepayang harus dipisahkan, saya—mungkin 21 peserta lain—diliputi perasaan negatif setelah mendengar kabar dari Bettina. Clinton berusaha mengembalikan suasana kelas seperti sebelum kabar itu datang. Ia meminta kami bergantian mengungkapkan perasaan kami dalam satu kata.

Marah, kecewa, kaget, rumit, sedih dan kata-kata yang menggambarkan perasaan negatif lainnya bergantian kami ungkapkan. Kemudian Clinton meminta setiap peserta menyampaikan satu dua kalimat di hadapan forum, untuk diri sendiri atau untuk siapapun. Kalimat yang menggambarkan keinginan dan cara seperti apa yang bisa mengembalikan komitmen diri sendiri untuk kembali sepenuhnya terlibat dalam sisa-sisa sesi hingga dua hari ke depan. Melalui cara itu, Clinton cukup berhasil mengembalikan mood dan komitmen saya—mungkin juga mayoritas peserta lain—untuk kembali terlibat aktif pada setiap sisa sesi hingga hari Sabtu, 14 Maret.

Kami pun melanjutkan sesi penting dan menarik ‘fundrising in action’ bersama Jonathan Moakes, Wakil Presiden dari Greenberg Quinlan Rosner (GQR). Lagi-lagi karena isu corona, Jonathan yang sedianya hadir langsung di tengah kami, harus memandu sesi melalui video langsung jarak jauh. Meski demikian, itu tidak menghalangi sesi yang melibatkan simulasi (per kelompok kecil) upaya ‘menaklukkan’ donor (Jonatahan berperan sebagi donor) melalui fundrising appointment.


(FOTO 5: Jonathan Moakes, Marike Groenwald 
dan Rainer Heufersmengisi sesi melalui video 
jarak jauh. Khusus Reiner, sesi dilakukan melalui 
aplikasi zoom ketika kami sudah kembali 
ke negara masing-masing.)

Selain Jonathan, narasumber lain Marike Groenwald, pendiri Anew dan Florian Westphal, Direktur Doctors Without Borders (Berlin) juga masing-masing menyampaikan materi mereka kepada kami melalui video langsung jarak jauh.

Tidak hanya mereka, Rainer Heufers, Direktur CIPS (Indonesia), yang sedianya mengisi sesi pada Rabu, 18 Maret, tetap menyempatkan diri berbagi pengalaman organisasinya, Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), dalam pengembangan lembaga terutama dalam pengembangan skill individual anggota-anggota lembagan. Melalui aplikasi zoom, pada 25 Maret, difasilitasi oleh Clinton, kami yang dalam kondisi sehat tanpa gejala terinifeksi virus covid-19, dari rumah kami masing-masing atau dari tempat isolasi mandiri kami masing-masing, belajar dengan Rainer.

Oleh-oleh Terbaik yang Saya Bawa Pulang ke INDEKS

Meski tidak berjalan seperti yang diharapkan karena wabah corona, dalam waktu efektif 6 hari di sana, saya mendapatkan banyak hal. Ada beberapa sesi dan materi yang bisa dibilang  menjadi salah satu oleh-oleh favorit untuk saya bawa pulang ke lembaga saya, Indeks. Di sini saya akan sedikit berbagi kepada pembaca, khususnya bagi pegiat organisasi, atau yang berniat mendirikan organisasi. Dua oleh-oleh dari beberapa oleh-oleh favorit yang saya dapat dari seminar.

Pertama, adalah sesi siang di hari kedua, “finding our organizational purpose”. Pada sesi ini peserta diajak untuk lebih dalam menelusuri (ala peaks and valleys) dan mengidentifikasi secara jernih tujuan organisasi kami masing-masing melalui teori the golden circle milik Simon Sinek. Kami, setiap peserta secara personal, diminta oleh Clinton merefleksikan dan menelusuri kejelasan “why”—lingkaran terdalam dan paling inti dalam the golden circle, sebelum lingkaran how dan what—dari organisasi kami masing-masing.

Apa alasan/tujuan/dasar utama (why) sebuah organisasi atau lembaga berdiri? Why butuh kejelasan dalam pikiran kita. Why adalah nafas, yang kita yakini dan menjadi bahan bakar utama setiap strategi, tipe organisasi, nilai-nilai, prinsip-prinsip manajerial dan kegiatan lembaga (how) dan hasil nyata lembaga (what). Why lah yang orang perlu tahu tentang organisasi kita.

Lebih jelas tentang deskripsi dari teori ini bisa dibaca dari berbagai sumber, dari buku ataupun internet. Tapi yang membuat sesi ini lebih mendalam secara personal dan emosional bahkan secara tidak langsung menguji loyalitas saya sebagai bagian dari lembaga saya adalah untuk sampai menemukan kejernihan why lembaga saya, saya—dan peserta lain—diminta untuk mengingat satu atau dua momen spesifik yang membuat saya sangat bangga selama bekerja dalam lembaga saya. Saya mengingat dan menuliskan detil momen itu. Terutama kontribusi nyata yang spesifik apa dan siapa saja yang mendapatkannya, karena apa yang saya kerjakan atas nama lembaga.

Dari aktivitas mengingat momen spesifik yang paling membanggakan selama bekerja atas nama lembaga itu, dapat ditarik kontribusi dan dampak sepesifik apa dan terhadap siapa saja (spesifik perubahan diri atau perilaku) atas apa yang sudah lembaga kerjakan. Gabungan antara kontribusi dan dan dampak sepesifik dan nyata ini lah why, tujuan atau misi lembaga tergambar.

Inti dari aktivitas ini bukanlah untuk menemukan kejernihan why dari lembaga atau organisasi, meskipun itu perlu. Tapi sesi ini lebih kepada untuk menyadari bahwa why atau misi/tujuan/alasan berdiri organisasi-lah yang menentukan dan menjadi nafas bagi lembaga. Untuk itu harus diketahui dengan jernih. Karena hal itu lah yang ingin orang lain dan lembaga donor dengar tentang organisasi atau lembaga kita. Bukan tentang apa yang lembaga kerjakan, tapi tentang kenapa lembaga mengerjakan itu.

Oleh-oleh kedua adalah soal fundrising.  Dalam waktu terbatas itu, kami bersyukur mendapatkan materi fundrising in action dari Jonathan Moakes secara penuh dan komprehensif, dan saya juga mendapat tambahan sedikit input soal fundrising berdasarkan pengalaman pendanaan organisasi milik dua narasumber Rainer Heufers dan Ruth Piecha. Tema utama Ruth dan Rainer, sebagaimana sudah disebut di atas, bukanlah soal fundrising.

Karena fundrisng adalah nyawa dari lembaga atau organisasi, saya akan berbagi sedikit kepada pembaca.

Oleh Jonathan kami peserta diberi pengetahuan dan ketrampilan komprehensif dari upaya mendapatkan dana lembaga, mengelolanya, hingga mempertanggungjawabkannya kepada donor. Sesi ini berjalan dari pukul 09.15 hingga 06.30 di hari kelima ini. Peserta diajak Jonatahan, melalui video jarak jauh, dengan dua aktivitas latihan per kelompok kecil: latihan fundrising appointment dan latihan bagamana kita mengelola dan mempertanggungjawabkan dana kepada donor.

Yang sedikit bisa saya bagi di sini dari keseluruhan materi penting dari Jonathan, berikut. Kita harus menyadari bahwa donor memiliki dana terbatas yang diperebutkan oleh banyak lembaga. Selain dana, waktu mereka untuk kita juga terbatas. Untuk itu, setiap kita memiliki kesempatan mengakses mereka untuk berkomunikasi terkait pengajuan dana atau fundrising appointment, posisikan itu adalah satu-satunya kesempatan yang kita miliki dan pastikan apa yang akan kita komunikasikan benar-benar jelas, terukur dan terstruktur dengan baik.

Kita perlu memantapkan dulu posisi tawar lembaga, “why” atau tujuan lembaga di sini memiliki peran penting untuk dikomunikasikan secara jelas kepada donor. Sampaikan berapa banyak dana yang dibutuhkan, untuk apa saja dana itu dan berikan alasan (posisi tawar) kenapa donor harus tertarik mendanai dan lebih memilih mendanai lembaga kita daripada lembaga-lembaga lain. Lalu yakinkan donor bahwa dana dari mereka akan digunakan semestinya seperti yang kita janjikan pada mereka, dengan terlebih dahulu menyampaikan bagaimana oprasional lembaga terkait monitoring dan evaluasi.

Poinnya, tidak ada donor, baik lembaga atau perorangan, yang bersedia mengeluarkan uang mereka untuk sesuatu yang tidak memiliki posisi tawar, nilai lebih atau value proposition; serta untuk sesuatu yang tidak jelas dalam penggunaan dan pertanggungjawaban. Ingat, mereka tidak sedang bertaruh.

Soal fundrising, Mother Hood (lembaganya Ruth Piecha) cukup menarik terkait sumber dana. Selain dari lembaga donor, Mother Hood mendapatkan dana lembaga dari member. Bahkan dana dari member, setiap tahunnya, selalu menjadi sumber dana tertinggi, untuk oprasional lembaga.

Bagaimana bisa organisasi non-profit yang tidak menawarkan keuntungan materi kepada para member membuat ribuan orang mendaftar sebagai member dan sebagian mereka (seratus lebih) mendonasikan uang mereka untuk lembaga? Itu menakjubkan dan tidak pernah terpikirkan oleh saya akan berhasil diterapkan. INDEKS pernah malakukan ini, tapi gagal. Tapi layak dicoba lagi dan memang, karena Mother HOOD, saya terdorong untuk melakuannya lagi.

Apakah ada yang tertarik menjadi member organisasi seperti INDEKS dan bersedia berdonasi bulanan atau tahunan untuk mempromosikan ide-ide kebebasan sipil, HAM dan kebebasan ekonomi demi meningktakan kualitas demokrasi dan kesejahteraan masyarakat? Peluangnya ada, berkaca dari Mother HOOD.

Mother HOOD menawarkan ide yang benefitnya bukan langsung kepada member pribadi tapi untuk masyarakat luas, yakni perlindungan, jaminan kebebasan dan penghargaan bagi ibu mengandung serta menyusui dan bayi.


(FOTO 6: Ruth Piecha (Mother Hood) menyampaikan 
materi di kantor lembaganya, Cologne.)

Menariknya, mereka awalnya memasarkan ide mereka melalu grup Facebook, 2005. Profiling lembaga, komunikasi publik yang baik dan kampanye ide mereka yang menarik dan fokus pada persoalan yang terjadi di masyarakat mendapat sambutan baik masyarakat luas untuk bergabung menjadi member. Sebagian mereka menjadi member aktif dan pengurus.

Rainer Heufers juga memberi input penting soal fundraising. Ia mengalokasikan 50% waktunya dalam sehari untuk urusan fundrising. Dari mencari informasi undangan mengajukan proposal pendanaan, mengecek dan mengirim e-mail terkait itu, membuat proposal, merancang strategi fundrising dengan tim, menghubungi atau bertemu dengan individu atau lembaga donor, dan aktivitas terkait lainnya. Rainer dari pagi hingga waktu makan siang, ia luangkan waktunya hanya untuk itu.

Ini penting dipraktekan dan diaplikasikan oleh saya pribadi dan siapapun pegiat organisasi atau lembaga non-profit. Mengingat, sekali lagi, fundrising adalah nyawa organisasi atau lembaga.

Rasa Dari Hati yang Dalam

Terlepas dari kegiatan seminar tidak bisa tuntas sebagaimana jadwal yang direncakan karena pandemi corona, secara umum saya merasa bersyukur karena selama tujuh hari di Akademi Theodor Heuss saya mendapatkan poin-poin yang saya butuhkan untuk pengembangan lembaga kami, terkait strategi, manajemen dan fundrising. Kebaikan dalam menyiapkan semua kebutuhan peserta dan keramahan Bettina Solinger, Lena Farber, seluruh staf Akademi dan tim penyelenggara kegiatan adalah salah satu alasan kami nyaman, homey, selama berada di Akademi. Terima kasih sebesar-besarnya untuk mereka.

Untuk itu, saya sangat berterima kasih kepada FNF Indonesia yang memfasilitasi saya menjadi salah satu peserta kegiatan IAF ini dan membawa saya berada di akademi. Di sana, saya bukan hanya mendapatkan pengetahuan yang saya butuhkan, tapi juga berkesempatan bertemu dengan individu-individu hebat dari berbagai organisasi berhaluan liberal dari negara-negara benua Asia, Eropa, Afrika dan Amerika.

Dengan mereka, saya tidak hanya mendapatkan pengetahuan mereka, tapi juga kami berbagi keakraban, keramahan dan kultur, baik di dalam forum ataupun di luar forum, terutama di bar.

(Foto 7: Thank you, Clinton!)

Dan tentu saja Clinton. Saya sangat berterima kasih padanya telah memfasilitasi seminar dengan cara luar bisa dan menghidupkan suasana ruangan Ralf Dahrendorf menjadi bermutu, menyenangkan dan penuh keakraban.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *