Menyoal Batasan Kebebasan Berpendapat di Era Digital: Hoaks dan Ujaran Kebencian

Dalam ranah sosial politik, perbincangan di media sosial sering kali menimbulkan masalah campur aduk antara fakta dan opini, informasi dan disinformasi, serta propaganda kebencian. Kebebasan berpendapat mendapat tantangan dari dua arah sekaligus: pertama, dari mereka yang memanfaatkan iklim kebebasan berpendapat untuk penyebarluasan disinformasi dan propaganda kebencian, dan kedua, dari mereka yang mendalihkan adanya disinformasi dan propaganda kebencian untuk mengekang kebebasan berbicara secara umum. Dengan demikian, apakah kebebasan berpendapat harus dibatasi?

Persoalan tersebut dibahas dengan menarik dalam diskusi daring bertajuk Kebebasan Berpendapat, Hoax dan Ujaran Kebencian di Dunia Digital pada Jumat, 26 Maret 2021, yang digelar atas kerja sama Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia, Institut Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Lembaga INDEKS) dan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham RI).

Dalam diskusi tersebut, Nanang Sunandar—Direktur Eksekutif Lembaga INDEKS—selaku narasumber menyampaikan bahwa kebebasan berpendapat dan kebebasan warga negara lainnya harus benar-benar dijamin dan dihormati. Itu perlu disampaikan karena menurut Nanang, saat ini tak sedikit masyarakat yang phobia terhadap kebebasan.

“Phobia ini didorong oleh pandangan yang sifatnya irasional. Karena, mereka gagal paham atas defenisi esensial dari kebebasan. Dalam konteks kebebasan berpendapat, gagal paham itu terjadi dalam merumuskan regulasi-regulasi yang tujuannya baik namun justru membuat orang menjadi sulit atau takut menyampaikan pendapat karena takut diperkarakan secara hukum,” Nanang menjelaskan.

Gagal paham terhadap kebebasan itu, lanjut Nanang, dapat ditangkap dari ungkapan “kebebasan yang kebablasan” yang sering kita dengar dari orang-orang yang kuatir dengan kebebasan. Ungkapan itu absurd karena dalam frasa tersebut merancukan konsep kebebasan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan itu sendiri. Contoh yang diajukan mereka, menempeleng orang. Kata Nanang, itu bukan kebebasan tapi kesewenang-wenangan. Itu justru melanggar kebebasan.

Kebebasan, kata Nanang, lingkupnya internum yang sifatnya absolut di mana tidak boleh ada yang membatasi, dan di ruang eksternum yang bisa dibatasi karena akan bersinggungan dengan kebebasan orang lain. Urgensi kebebasan berpendapat, tegas Nanang, justru saat disampaikan di ruang eksternal, publik atau di muka umum. Kebebasan berpendapat apa pun di muka umum itu wajib dihormati dan dijamin meskipun kita tidak sependapat.

Untuk itu, lanjut Nanang, pengaturan soal pembatasan kebebasan berpendapat harus dirumuskan dengan jelas apa saja yang bisa jadi batasan dan jika hoaks dan ujaran kebencian seperti apa parameter atau norma standarnya. Itu perlu, agar tidak dengan mudah membatasi kebebasan berpendapat karena sebab ada yang tersinggung atau tidak nyaman dengan ugly truth; termasuk di ruang digital.

Senada dengan Nanang, narasumber lain Luthfi Assyaukani, CEO Qureta, mengatakan kebebasan berpendapat wajib dijamin baik di ruang fisik ataupun di ruang digital. Baginya, kebebasan berpendapat, termasuk yang menyinggung pendapat status quo, justru menjadi pendorong bagi perubahan yang lebih baik dalam sejarah umat manusia.

“Diskursus tentang kebebasan, kata Luthfi, terjadi pada dua level, level ide dan praktis. Pada level ide, diskursus itu terkait pertanyaan apakah kebebasan punya batasan? Dan jika ada, apa batasannya? Adapun di level praksis, diskursus itu terkait pertanyaan bagaimana konstitusi dan UU mengaturnya? Dan bagaimana masyarakat merespon aturan itu?

Pada level ide, diskursus terkait batasan kebebasan, dalam hal ini kebebasan berpendapat, ada dua pendapat. Pertama yang berpendapat bahwa kebebasan berpendapat tidak memiliki batasan, karena berupa perkataan bukan tindakan. Kedua, pendapat yang mengatakan ada batasan kebebasan berpendapat. Yakni, ujaran kebencian, hak untuk menyinggung (rights to offend) dan hoaks.

Pihak pertama berargumen, rights to offend dan hate speech termasuk bagian dari kebebasan berpendapat yang mestinya dijamin oleh undang-undang. “Kalau kita tidak percaya pada kebebasan berekspresi bagi orang-orang yang tidak kita sukai maka kita tidak percaya pada kebebasan sama sekali,” demikian Luthfi mengutip Noam Chomsky.

Luthfi menjelaskan, biasanya orang yang tidak kita sukai atau benci, ketika mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan pendapat kita, maka kita seringnya menganggap pendapat mereka sebagai ujaran kebencian. Untuk itu, jika kita membatasi hak berpendapat dari mulut-mulut orang yang tidak kita sukai dan pendapat yang menyinggung kita, itu artinya tidak percaya sama sekali dengan pentingnya kebebasan.

Adapun pihak kedua berargumen, bahwa hate speech bukan bagian dari kebebasan berpendapat karena dapat mengarahkan pada tindakan Kriminal bahkan holocaust. Di Indonesia juga terjadi tindakan-tindakan diskriminatif dengan kekerasan kepada kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan Syiah yang marak terjadi karena banyaknya hate speech atau ujaran kebencian yang mengarahkan pada kekerasan fisik.

“Holocaust bukan diawali dari pembunuhan; itu diawali dari kata-kata,” Luthfi mengutip sebuah quotes dalam Museum Peringatan Holocaust Amerika Serikat.

Demikian juga soal rights to offend. Bagi pihak kedua, itu bukan bagian dari kebebasan berpendapat. Luthfi mencontohkan pelarangan menghina Nabi Muhammad di Austria. Argumennya, untuk mencegah tindakan kekerasan yang diakibatkan menghina Nabi Muhammad. Alasan kemananan negara.

Selain alasan keamanan negara (state security), negara-negara perlu membatasi kebebasan berpendapat warganya juga karena alasan keteraturan masyarakat (public order) dan agar tidak ada provokasi untuk melakukan kekerasan (incitemen to offence).

Di era digital, kebebasan berpendapat mendapat tantangan tersendiri dari maraknya hoaks dan ujaran kebencian melalui media sosial. Hoaks dengan mudahnya dipercaya oleh banyak anggota masyarkat Indonesia. Kata narasumber dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Syarifah Ema Rahmaniah,  karena masyarakat tengah menghadapi enam tantangan.  Tiga di antaranya, banyaknya kekacauan informasi, rendahnya literasi media dan digital, dan polarisasi politik.

Syarifah menyampaikan bahwa hoaks dan ujaran kebencian memiliki dampak buruk bagi masyarakat, bahkan menghilangkan nyawa. Utamanya hoaks dan ujaran kebencian terkait SARA dan kesehatan. Misalnya hoaks yang dilancarkan kelompok anti-vaksin di Indonesia, yang menggunakan isu agama dan kebencian kepada kelompok agama tertentu.  Dampaknya adalah capaian program imunisasi, berdasarkan laporan WHO, terbilang rendah. Selain itu hoaks dan ujaran kebencian dapat memicu konflik di masyarakat.

Untuk itu, perlu upaya-upaya melawan hoaks dan ujaran kebencian. Salah satu upaya adalah memberikan pendidikan terkait literasi digital dan periksa fakta serta membentuk simpul-simpul dari berbagai kalangan masyarakat hingga media untuk sapu bersih hoaks dan ujaran kebencian di internet.

“Kerja kolaborasi sangat penting. Melawan hoaks dan ujaran kebencian bukan hanya kewajiban negara dan komunitas anti hoaks, namun ini adalah kewajiban kita bersama. Juga mereka yang memiliki kepentingan pemenangan pemilu agar sadar untuk tidak menggunakan hoaks dan ujaran kebencian, serta ikut aktif memerangi hoaks dan ujaran kebencian” kata Syarifah.

Direktur Kerja Sama HAM Kemenkumham RI Hajerati menyampaikan pemerintah tengah melakukan upaya-upaya melawan hoaks dan ujaran kebencian di ruang digital. Menurutnya, ini perlu dilakukan karena dampaknya berbahaya. Bahkan banyak kasus pembunuhan yang dipicu karena hoaks dan ujaran kebencian.

“Ujaran kebencian dapat berdampak pada tindakan diskriminasi, kekerasan dan penghilangan nyawa ata konflik sosial. Adapun kontennya tekait dengan suku, agama, ras, aliran kepercayaan, warna kulit, etnis, gender, kondisi fisik atau disabilitas, dan orientasi seksual ” ungkap Hajerati.

Apalagi, lanjut Hajerati, saat ini ada 150 jutaan pengguna internet di Indonesia yang 80 persennya adalah remaja usia 15-19 tahun dan 97%-nya hanya mengakses platform-platform media sosial. Media sosial inilah yang menjadi tempat penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Di sisi lain, literasi digital mereka rendah.

Untuk itu, pemerintah Indonesia memiliki regulasi terkait hoaks dan ujaran kebencian termasuk di ruang digital. Di antaranya dalam KUHP, UU no. 19/2016 tentang ITE, UU no. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *