Kebebasan sipil sesungguhnya telah dijamin dan sebagai bagian dari hak-hak sipil dan politik warganegara (civil rights) yang wajib dihormati, dipenuhi, dan dilindungi oleh negara karena ia bersumber dari martabat setiap manusia dan melekat pada setiap manusia. Kebebasan sipil dapat ditelusuri sebagai sebuah nilai yang mendasari penghargaan atas Hak Asasi Manusia (HAM).
HAM berpijak pada pandangan bahwa setiap individu manusia memegang seperangkat hak yang bersifat asasi dan tidak bisa diganggu gugat. Hanya saja, di Indonesia, kenyataan menunjukkan bahwa masih terjadi pelanggaran atas kebebasan sipil di Indonesia. Baik yang dilakukan oleh kelompok masyarakat terhadap individu ataupun yang dilakukan negara terhadap individu atau kelompok individu. Baik pelanggaran terhadap kebebasan sipil dalam bentuk kebebasan beragama dan berkeyakinan, hingga pelanggararan terhadap kebebasan untuk berekspresi, berserikat, dan mengemukaan pendapat.
Karenanya, isu kebebasan sipil menjadi masalah bersama yang masih harus diperjuangkan secara terus-menerus oleh semua pihak, baik dari segi pemahaman teoritis, penajaman gagasan dan konsep, maupun intensifikasi dalam wilayah advokasi legal dan perundang-undangan.
Perjuangan untuk menegakkan prinsip kebebasan sipil di Indonesia sebenarnya tidak berangkat dari nol sama sekali. Sebab, pada dasarnya, jaminan atas kebebasan sipil di negeri ini sudah cukup kuat dan dijamin oleh UU D1945 Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) Hak untuk hidup; Pasal 28D ayat 1, 3, 4 tentang Hak di hadapan hukum, memerintah dan kewarganegaraan; Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) Hak Kebebasan beragama; Pasal 28E ayat (2) dan Pasal 28I ayat (1) Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; Pasal 28E ayat (3) Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat; Pasal 28F Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi; Pasal 28G ayat (1) Hak atas rasa aman dan bebas dari ancaman; Pasal 28G ayat (2) dan 28I ayat (1) Hak Bebas dari penyiksaan; Pasal 28G ayat (2) Hak memperoleh suaka politik; Pasal 28I ayat (1) Hak untuk tidak diperbudak; Pasal 28I ayat (1) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; Pasal 28I ayat (1) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; dan Pasal 28I ayat (2) Hak untuk tidak diperlakukan diskriminatif.
Selain itu, kebebasan sipil juga dijamin dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dengan meratifikasi ICCPR tersebut, Indonesia berarti terikat untuk menjamin: kebebasan dan hak-hak sipil warga negara.
Sungguhpun demikian, jaminan dan perlindungan kebebasan sipil di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Kebebasan beragama, misalnya. Dalam Laporan Setara Institute Tahun Pada 2017, Setara Institute mencatat ada 155 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, di antara daerah yang terbesar pelanggarannya adalah Jawa Barat dan DKI Jakarta.[1] Pelanggaran yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat sipil, namun juga oleh aparat penyelenggara negara.
Selain itu, kebebasan sipil di Indonesia dalam rilis Freedom House masih menjadi masalah yang cukup serius. Dalam dua tahun berturut-turut, pada 2017 dan 2018, skor kebebasan sipil di Indonesia berada di angka 4.[2] Salah satu akar masalah dari minusnya kebebasan sipil adalah minimnya perlindungan pada kelompok minoritas. Beberapa pranata hukum nasional yang telah mengadopsi instrumen HAM internasional tidak serta-merta dapat melindungi hak-hak warga negara, termasuk di dalamnya hak-hak minoritas.
Yang jelas nyata terlihat adalah memanasnya pesta demokrasi beberapa tahun terakhir yang dibarengi dengan menguatnya politik identitas. Isu-isu negatif seperti keberadaan kelompok minoritas dijadikan komoditas politik untuk mendulang simpati dan suara pemilih yang mayoritas muslim. Imbasnya, narasi-narasi yang menyudutkan kelompok-kelompok minoritas menjadi peluru bagi kubu-kubu tertentu untuk menurunkan elektabilitas kubu lawan. Isu “penodaan agama,” isu “calon keturunan”, isu “calon anti-agama”, dst. dijadikan komoditas politik untuk menjatuhkan elektabilitas lawan politik, yang dilakukan dengan cara memproduksi dan menyebarkan melalui jaringan internet beragam fake news atau hoaks yang memuat ujaran kebencian kepada minoritas.
Selain itu, beberapa kasus persekusi akhir-akhir ini yang dilakukan oleh masyarakat atau organisasi masyarakat kepada individu ataupun minoritas agama, juga sejumlah kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani yang dilakukan aparat karena konflik agraria. Hal ini menambah tegas bahwa perlindungan dan jaminan negara terhadap kebebasan sipil belum berjalan dengan maksimal.
Program Kebebasan Sipil dan Kebebasan Politik berorientasi pada meningkatnya pemahaman dan penghargaan publik pada kebebasan-kebebasan fundamental yang melekat pada setiap manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, dan karenanya harus djamin oleh negara. Program dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan, seperti diskusi, workshop dan pelatihan, dan publikasi.
[1] Setara Institute, Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2017
[2] Freedom House, Freedom World