Keberadaan media sosial membawa tantangan baru bagi toleransi dan diversity. Beragam pandangan begitu mudah dan bebas diproduksi dan diakses di dalam media sosial. Dalam media sosial mudah ditemui narasi-narasi yang memuat gagasan anti-kebebasan, intoleransi, dan anti-kebinekaan, bahkan yang memuat narasi-narasi ekstremisme beragama. Pihak-pihak yang tidak menghargai kebebasan individu, anti-kebergaman, dan memiliki pandangan yang cenderung mengancam integrasi bangsa menjadikan media sosial ladang yang luas uantuk menyebarkan pandangan mereka.
Di sisi lain, media sosial merupakan peluang bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan dan semangat volutarisme dalam menyebarka gagasan kebebasan sipil, kebergaman dan kebinekaan, dan meng-counter narasi-narasi yang ant-kebebasan individu, intoleran dan anti-kebergaman. Media sosial, seperti Facebook, adalah peluang bagi mereka untuk menyebarkan ide dan gagasan mereka. Hal itu mengingat, pengguna Facebook per Maret 2021 sebanyak 175,3 juta orang.
Dengan kata lain, upaya menyebarkan narasi melalui tulisan dalam konteks mendukung kebebasan sipil, kebergaman dan kebinekaan di media sosial perlu dilakukan. Untuk itu, mereka yang memiliki semangat menyebarkan ide kebebasan sipil, toleransi dan kebinekaan perlu dilengkapi dengan penguasaan pada pandangan dasar akan toleransi dan kebebasan, kemapuan membuat tulisan yang baik dan menarik (esai popular), serta memiliki pemahaman yang baik tentang bagaimana supaya tulisan-tulisan mereka tersebar luas dan dapat mempengaruhi pembaca.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Friedrich Naumann Fondation (FNF) Indonesi dan Lembaga INDEKS menggelar kegiatan Pelatihan Menulis Esai Populer: Toleransi dan Kebebasan pada Kamis-Sabtu, 19-21 Agustus 2021. Kegiatan yang diselenggarakan melalui aplikasi Zoom ini dihadiri oleh 19 peserta terpilih dari 35 yang mendaftar dengan mengirimkan contoh esai popular tentang toleransi dan kebebasan.
Selama tiga hari dari pukul 09.00 hingga 17.00 WIB, para peserta belajar dengan pelatih Luthfi Assyaukanie (Pendiri Qureta dan dosen Universitas Paramadina) dan dua fasilitator dari Lembaga INDEKS, Nanang Sunandar dan Sukron Hadi.
Secara umum, para peserta belajar tiga tema pelatihan. Pertama (pada hari I) belajar pandangan dasar tentang toleransi dan kebebasan. Sedangkan kedua (pada hari II), menyampaikan teori menulis esai popular dan bagaimana berkampanye kebabasan dan toleransi melalui tulisan di media sosial. Sedangkan ketiga (hari ketiga), Luthfi memberikan materi praktik menulis esai popular yang baik dan benar dan mereview yang ditugaskan oleh dua fasilitator (Nanang Sunandar dan Sukron Hadi) pada hari kedua.
Pada hari pertama, semua peserta diajak Sukron Hadi untuk memperkenalkan diri dan menyampaikan apa motivasi mereka mengikuti kegiatan ini dan memberikan pandangan mereka mengapa menulis itu penting bagi mereka.
Setelah sesi perkenalan, Nanang Sunandar mengajak para peserta mendiskusikan konsep kebebasan secara mendasar. Nanang memperkenalkan konsep kebebasan dalam konteks keberaragaman. Ia memperkenalkan konsep kebebasan dari sudut pandang teoritis ataupun Hak Asasi Manusia.
Setelah istirahat makan siang, para peserta lebih jauh diajak Luthfi Assyaukanie untuk mengenali konsep kebebasan dan toleransi secara komprehensif. Ia menggali toleransi dari sudut pandang Sejarah.
“Ide ‘toleransi’ muncul di era modern, khususnya setelah gerakan Reformasi agama di Eropa. Di era pra-modern, toleransi tidak dibicarakan secara khusus. Praktik-praktik toleransi dilakukan secara terbatas. John Locke merupakan filsuf pertama yang mengurai isu toleransi dalam tulisan khusus.” Luthfi menerangkan.
Lanjut Luthfi, setelah Perang Dunia II,toleransi menjadi bagian dari isu kebebasan. Pada 1947, PBB mendeklarasikan HAM, yang kini menjadi “kitab suci” dunia modern. Kata Luthfi, Universla Declaration of Human Rights adalah pegangan manusia modern untuk isu-isu toleransi dan kebebasan.
Dalam kesempatan ini, Luthfi mengajak peserta untuk mendiskusikan soal apakah kita boleh menoleransi tindakan intoleran? Dalam diskusi ini, Ia menyampaikan pandangan Karl Popper, Rawls, dan filsuf lain soal permasalahan ini.
Pada sesi terakhir pada hari kedua, Sukron membawakan materi Data dan Fakta dalam Tulisan. Sukron menekankan bahwa meskipun esai berbeda dengan tulisan ilmiah akademis, namun data dan fakta perlu dihadirkan penulis untuk membangun argumentasi dalam esai agar lebih kukuh.
Sukron juga mengajak peserta untuk latihan membangun argumen dengan data dan fakta untuk menguatkan klaim atau opini terkait kondisi toleransi di Indonesia. Sukron mendorong peserta untuk mendapatkan data-data kebebasan beragama atau toleransi dari sumber-sumber yang kredibel, seperti Wahid Foundation, SETARA Institute serta lembaga lainnya.
Setelah diajak Sukron untuk berbagi soal poin-poin penting yang didapat pada hari pertama, para peserta pada sesi pagi di hari kedua kembali belajar denga Luthfi. Pada sesi pagi dan siang hari, Luthfi menyampaikan pentingnya mengkampanyekan ide melalui tulisan yang menarik untuk menyasar pengguna media sosial, terutama dalam mengkampanyekan tentang ide toleransi. Selain ditulis dengan menarik, Luthfi mendorong para peserta untuk menguatkan argumen tulisan dengan fakta dan data.
Menurut Luthfi, esai merupakan tulisan pendek non-fiksi yang ditujukan untuk menyampaikan pesan tertentu. Esai harus ditulis dengan menarik dan menggabungkan fakta, data dan opini.
Luthfi juga menunjukkan kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan oleh para penulis esai pemula. Dengan melakukan hal itu Luthfi berharap para peserta dapat belajar tentang hal-hal yang harus dihindari ketika membuat esai. Selain itu, Luthfi juga memberikan dorongan dan kiat-kiat kepada para peserta agar tulisan mereka bisa terbit di media cetak atapun online.
Dua sesi yang dibawakan oleh Luthfi pada hari kedua merupakan dasar penulisan yang menjadi panduan bagi para peserta untuk berlatih menulis. Pada sesi terakhir di hari kedua, Sukron dan Nanang meminta para peserta untuk berlatih menulis esai berdasarkan teori menulis yang sudah disampaikan Luthfi.
Sembilan belas peserta pun berlatih menulis esai. Baik membuat esai baru ataupun menyempurnakan esai yang mereka kirim untuk mendaftar pelatihan. Latihan menulis berlanjut di luar kegiatan atau di rumah peserta masing-masing. Esai hasil latihan mereka harus dikirim sebelum kegiatan hari ketiga dimulai.
Pada hari ketiga, Luthfi mereview satu per satu esai peserta dari latihan pada hari sebelumnya. Setiap esai peserta mendapatkan kesempatan diberi tahu kesalahannya, dikoreksi, dan diberi masukan. Baik pada judul, paragraf pembuka, hingga isi esai. Nanang dan Sukron juga diminta Luthfi untuk memberi masukan kepada esai-esai para peserta yang sdang direview.
Kegiatan pelatihan tiga hari ini ditutup dengan sesi Rencana Tindak Lanjut. Pada sesi ini semua peserta berkomitmen untuk mempraktikan apa yang mereka dapat dari pelatihan. Selain itu, mereka sepakat membentuk komunitas penulis yang bertujuan untuk mengkampanyekan gagasan kebebasan dan toleransi untuk Indonesia yang lebih damai melalui tulisan. Mereka menamai komunitas mereka dengan Gerakan Toleransi dan Kebebasan (GERTAS).